Monday, December 24, 2001

Angin Bertiup Di Atas Angin


SAAT PERTAMA

Kerak-kerak berkumpul,
Serak-serak berucap

Satu katapun tak terucap
Indahnya hidup walau sesaat

Jalan sudah ditempuh
Sejarah akan tersepuh

Diam… Diam….
Cinta Pertama……………..



Saat itu langit cerah di bulan November. “Kevin…”, panggil Sonia. “Lagi ngapain luh?”, Sonia bertanya. “Enggak, cuman sedang merenungi nasib. Ingat tadi kan di kelas, gua salah lagi, salah lagi! Sialan tuh guru gua hajar nanti dia!”, kataku tak kuat menahan amarah.

Aku Kevin, umur 17 tahun. Sonia jauh lebih tua 3 tahun dariku. Kami sudah lama tak berjumpa, sebenarnya dia baru kembali dari Jepang tahun lalu. Dia pergi ketika aku berumur 5 tahun. Aku juga baru ketemu dia pada tahun ajaran baru ini, yah dia pindah ke sekolahku. “Eh, Bumi pada Mars… halo… halo… Kevin ada?”, sindirnya padaku. “Aduh jangan ganggu gua deh, gua lagi pusing tahu!”, kataku ketus. Dia terdiam lalu tersenyum,”Duh, jangan marah dong, yuk kita jalan-jalan”. “Udah jangan dipusingin deh, gua traktir makan mau engga?”, dia bertanya.

Aku bingung sih sama dia, sudah lama di Jepang tapi logat bahasa Indonesianya masih kental begitu. “Eh, jangan cuekin gua dong! Mau pergi engga?”, katanya. “Yah, oke deh ayo kita pergi.”. Ingin tahu aku, dia kapan kali sekolah di Jepang padahal sudah setua itu masih sekelas bersamaku. Kami pergi ke Mal, biasa anak muda, makan lalu ‘mejeng’.

Tapi enak juga sih kalo ada dia, dia orangnya royal sih, jadi bisa makan gratis terus. Dia sih orangnya lumayan cantik tapi ‘tomboy’-nya itu loh, luar biasa. Rambut pendek cepak, baju kaos kayak enggak pernah digosok (dia kost sih, mungkin jadinya begitu), omongannya gila… engga kenal teman dan lawan. “Mau makan di mana? Gua sih lebih suka masakan Jepang.”, tuturnya. “Kita makan ‘HokBen’ saja yuk, gua juga suka sih”, kataku. “Oke deh…”, katanya. ‘HokBen’ disini adalah singkatan dari ‘Hoka-Hoka Bento’ restoran ‘fastfood’ Jepang.

Penuh juga restoran itu, maklum jam makan siangnya orang kerja. Untung ada dua tempat kosong jadi dapat tempat duduk juga. “Gila juga yah, enak juga nih buka restoran Jepang di Indonesia, rame…”. “Yah emangnya elu bias masak!?”, ejekku. “Eits… jangan pandang gua sebelah mata yah, sebutin aja YAKINIKU, TEMPURA, TEMPURA-DON, apa aja deh cil!!!”, balasnya.”Udah, udahan deh, iya elu bisa, elu bisa, percaya…. Makan deh sekarang, nanti keburu dingin tuh.”, kataku menyudahi.

Entah dia marah atau tidak tadi. Tapi dia tersenyum tersipu-sipu sambil menghabiskan makanannya. “Eh tumben luh ngajakin gua makan, ulang tahun bukan, ada yang meninggal juga bukan, jadi apa dong?”, tanyaku. Dia tetap diam, dan mimik wajahnya berubah. “Eh kenapa sih luh, marah??? Sori deh kalo tadi gua nyinggung perasaan loe”, kataku cepat. Dia tetap diam. Bingung juga aku saat itu, padahal tadinya ceria sekarang berbalik sedih campur marah. “Heh, ngomong kek… iya deh gua boleh loe maki, puas!?”, tuturku.

Rasanya sudah sekitar setengah jam dia terdiam, ketika dia berbicara lagi. “Gua lagi sedih”, katanya lalu terdiam. Sebagai laki-laki entah apa yang harus kukatakan, aku hanya terdiam. “Gua lagi sedih”, ulangnya. Mungkin dia ingin aku berkata sesuatu kepadanya. Aku tetap terdiam seperti orang bisu di kerumunan orang. Lalu kukatakan, ”Kenapa sedih!? Masalah di rumah, sekolah atau sesuatu yang pribadi?”. Dia terdiam sesaat lalu berkata, ”Yah engga tahu juga gua. Sudahlah cuekin aja!”

Tak tahu apa lagi yang harus kuucapkan kepadanya. Tidak biasanya dia begitu. “Elu udah pernah punya pacar belum?”, katanya tiba-tiba. Aku terdiam sesaat mencoba menguraikan maksud pertanyaannya. “Eh, belon sih, emangnya kenapa?”, tanyaku. “Naksir orang?”, tanyanya kembali. Pusing kepalaku mendengar pertanyaannya. “Sebenarnya sih ada, tapi yah gua ada alasan tersendiri.” Huff… dalam hatiku bernafas lega. Lalu kami berdua kembali terdiam.

Apa lagi yang akan dia tanyakan, pikirku. Mimpi apa kemarin, hari ini sepertinya sial sekali, enggak di sekolah, jalan-jalanpun susah. “Eh elu apa engga ada hati sama gua”, katanya. !!!Wah dalam hatiku mulai merasa aneh!!! Jantungku berdegup kencang. Rasanya terbakar api. Aku terhenti, tidak bergerak. Kepalaku mulai berputar memikirkan pertanyaanya.

M
engapa dia katakan itu sekarang sih pikirku. “Yah, gimana yah, em… tak tahulah”. Kembali terdiam. “Yah, kita kan teman dari kecil, jadi engga tau yah”, kataku memberanikan diri. “Masa sih engga ada sedikitpun?” tanyanya. “Sejujurnya sih ada, sedikit…”, kataku mencoba melucu. Tapi dia terdiam, tak tertawa sekalipun.
“Gimana kalo elu jadi cowok gua!?”, katanya. Deg… seperti dihujam ribuan panah, aku kembali berpikir. Memang dulu aku ada hati kepadanya, yah ‘cinta monyet’ mungkin, dia suka sekali membela aku dan menjagaku, mungkin aku punya suatu rasa hanya sebatas kakak.

Akan tetapi dalam hatiku mulai terasa suatu perasaan lain, perasaan senang tapi berbeda. Kembali aku berpikir. “Yah, kalo itu mau luh, mungkin kita bisa coba”, kataku. “Bener nih!”, katanya dengan mimik wajah berubah. Huff… untunglah dia ceria lagi, walau dalam hatiku aku tidak tahu apa yang telah kuucapkan, atau alasan aku menerimanya, tapi hatiku senang dan tidak tahu akan seberapa senangnya melihat wajah cerianya lagi.




“mungkin rasa itu ada, mungkin ‘dia’ tertidur, seberapa lamapun tertutup kebisuan waktu, rasa itu ada dan akan ada untuk selamanya”

November, 97
DBM